Cerpen

6

Bulan

Bulan, jangan pergi! Jangan kau sembunyi di balik awan!

Bulan, jangan menghilang! Jangan kau larut dalam kegelapan!

Bulan, temani aku! Disini sepi!

 

Semilir angin malam menggoyangkan pepohonan, mereka menyambut kedatanganku. Tikus-tikus dengan cepat bersembunyi, mereka tidak mau menggangguku. Rerumputan terus bergoyang, menggodaku untuk mendudukinya. Dan bulan, terus setia menemaniku dengan cahaya lembutnya. Lanjutkan>>>

 

Tulisan dan Barisan

 

Bukan cinta namanya jika tidak memiliki banyak rasa. Bukan cinta namanya jika tidak berbelit-belit masalahnya. Bukan cinta namanya jika tidak abstrak kelakuannya. Bukan juga cinta namanya jika tidak memiliki cerita yang berbeda pada setiapnya.

 

Ketika kau mencoba mencampurkan gula, air, dan teh, lalu mengaduknya, dan simsalabim, sebuah teh tercipta, itulah yang namanya cinta. Semua menjadi satu dan terasa manis, bahkan dengan campuran benda-benda yang berbeda. Namun jika kau salah memasukkan gula dengan garam, itulah yang namanya petaka. Teh macam apa yang kau ciptakan untuk dinikmati? Lanjutkan>>>

 

The Kolor Of My Life

“Jagalah kolor ini sebaik mungkin… Jangan kamu sia-siakan. Kolor ini akan selalu membuatmu beruntung…” ucap Kakek yang mengenakan pakaian serba putih itu kepadaku sambil memberikanku sebuah celana dalam berwarna hijau.

“Te…terimakasih Kek…” ucapku memasang wajah kikuk.

Seketika, kakek itu langsung hilang dari pandanganku. Aku kaget. Tak mengerti dengan situasi yang sedang kuhadapi saat ini. “Kakek…?! Kakek dimana?!” Aku berteriak memanggilnya sambil menyapukan pandanganku. Lanjutkan>>>

 

Dia Ayahku

Malam itu, aku terbangun dari tidur kala mendengar tangisan seorang wanita di luar kamarku. Aku mengenali suara tangisan itu. Sepertinya, itu Ibu.Apa benar itu Ibu? Mengapa ia menangis? Batinku penasaran.

Aku bangkit dari ranjang, dan berjalan mendekati pintu. Kuintip sedikit, dan kudapati Ibu menangis sambil memeluk bantal guling oranye miliknya. Ternyata memang Ibu. Tapi, mengapa?

Kubuka lebih lebar pintu kamar itu. Kutatap Ibu nanar. Ibu melihatku, namun kembali menangis. Aku berjalan mendekatinya, dan duduk disampingnya. Kuelus punggungnya, kubelai rambut panjangnya. Ibu masih tetap menangis. Lanjutkan>>>

 

Selamat Tinggal

“Argh…” rintihku saat pisau bermata tajam menghunus dalam pembuluh vena di tangan kiriku. Mataku terpejam saat melakukannya. Seketika, dari lengan yang baru saja dicium oleh pisau itu menyembur banyak darah. Merah, pekat. “Argh…” Sekali lagi aku merintih. Pisau yang tadi kugenggam dengan tangan kanan segera kubuang karena tak tahan melihatnya. Benda itu menabrak dinding, dan langsung terjatuh tak berdaya.

“Sakit…” Erangku sedikit berteriak sambil menggigit bibir bawah. Berharap dengan hal ini semua rasa sakit yang berasal dari tangan kiri bisa menghilang. Mataku mulai berair. Dan dengan cepat, volume air yang menumpuk di pelupuk mataku ini semakin banyak dan langsung terjun bebas membasahi pipi yang juga mendapatkan sedikit cipratan darah. Lanjutkan>>>

Dia Adalah Dia, Chapter 2; Permainan

“Maksud lo apaan Yel?”

“Ya, permainan yang diberikan Dia baru aja dimulai…”

“Ja.. jadi? Nyawa gue udah terancam?” Aku tak bisa menyembunyikan rasa gugupku. Sumpah, aku takut melihat ketidak-normalan ini! Cerita dari Gabriel, sosok hantu menyeramkan, keanehan yang ada pada Gabriel, dan pecahnya cermin ini. Argh!

Semuanya jauh dari perkiraanku semula. Aku pikir masalah yang menimpa Gabriel adalah masalah keluarga. Bukan masalah yang seperti ini. Gila, kenapa aku dipertemukan dengan kematian? “La…lalu? Bagaimana?” Lanjutkan>>>

Dia Adalah Dia, Chapter 1; DIAry

Rabu, 31 Agustus 2011

Dear diary,

Sungguh malam yang indah. Bulan sabit tersenyum padaku, dan bintang-bintang bersorak memanggil namaku. Angin juga menemaniku malam ini, membelaiku lembut saat kutengadahkan kepala menatap langit. Kelelawar dan burung hantu menatapku dalam, dan bertanya “Apa yang sedang dilakukannya?”. Komet juga meluncur kencang, melihat apa yang bulan dan bintang lihat. Aku.

Aku disini sendiri, di atap rumah. Tak ada yang menemaniku, namun alam selalu ada disampingku. Pun, ada kau disini, diaryku. Yang bisa menemaniku berbagi, apapun hidupku hari ini.

Kau tahu ry, setiap akhir bulan Agustus, seperti hari ini, aku selalu teringat dengan hidup Gabriel, teman semasa SMP-ku dulu. Ya, memang tak ada yang spesial. Namun, ia berbeda! Lanjutkan>>>

Stev

Aku masih mengejarnya. Dia terus berlari. Tampak dari raut wajahnya kalau dia benar-benar memiliki tekad yang kuat. Larinya yang sangat cepat dan seakan tidak mengenal lelah, membuat aku yang membuntutinya yang menjadi lelah. Kemana dia?! Dan kenapa dia terlihat begitu menginginkan suatu hal yang sangat besar?

Tiba di sebuah belokan, Stev, anak yang kukejar itu semakin semangat untuk berlari. Disaat yang sama, sebuah mobil melintas di depanku. Membuat aku harus berhenti dan menunggu mobil itu berjalan. Dan setelah mobil itu selesai berbelok dan berjalan menjauh, aku kembali mengikuti langkah Stev. Namun, sayangnya, anak misterius yang kukenal sejak awal bulan ini, sudah menghilang dan tidak tampak lagi jejaknya. Lanjutkan>>>

Aku Bukan Pembunuh! Chapter 2 

“Di, tolongin aku menyelesaikan masalah ini, ya?! Aku mohon!” nada suaraku benar-benar lirih. Aku menunduk. Memikirkan apa salah yang telah kuperbuat sehingga membuat tuduhan pembunuhan ini mengarah kepadaku.

Dia duduk di sampingku. Menatapku iba. Sepertinya pacar dunia lain ku itu juga merasakan apa yang kurasakan. Sakit. Tertekan. Sedih.

“Iya, aku pasti akan membantumu, Vin! Aku janji! Tapi, kamu tahu, aku tidak bisa bersamamu lebih dari sebulan. Dan kalau masalah seperti ini berlanjut hingga akhir Maret, maaf, kamu harus berusaha menyelesaikannya tanpaku.” Dia memelukku. Memberikanku kekuatan untuk menghadapi masalah ini. Lanjutkan>>>

Aku Bukan Pembunuh! Chapter 1

Ayahku adalah salah seorang pengusaha tersukses di Jakarta dalam bidang perhotelan. Ibuku adalah seorang artis sinetron yang juga bisa dibilang sukses dalam kariernya. Karena kesuksesan kedua orangtuaku itu, aku bisa menikmati hidup yang serba berkecukupan. Rumah yang megah. Mobil yang mewah. Kolam berenang di belakang rumahku yang luas. Serta para pelayan yang sedia dua puluh empat jam untuk melayaniku. Namun, semuanya masih terasa kurang saat aku melihat teman-temanku yang orangtua mereka selalu ada di samping mereka. Dan selalu ada disaat mereka butuh. Berbeda denganku. Untuk bertemu dengan orangtua saja, butuh waktu lama agar bisa mendapatkan waktu yang tepat. Lanjutkan>>>

Keep Spirit! I Will Fine! 

Langkahku dengan mantap terus meniti trotoar. Sebentar lagi aku sampai. Senyumku merekah saat melihat bangunan putih itu sudah tidak jauh lagi. Kira-kira lima menit lagi aku akan bertemu dengan orang yang aku cari disana.

Aku terus melangkah. Tidak ada yang menghalangi langkahku. TIDAK! Niatku untuk cepat sembuh akan segera terwujud. Lanjutkan>>>

6 thoughts on “Cerpen

  1. ozzy berkata:

    bagus 🙂
    good job , boy 😀
    i always follow up your web . Wkaa

  2. rodyah zubaidah berkata:

    bagusssssss 😀

Tinggalkan komentar