Dia Ayahku!

Tinggalkan komentar

Oktober 16, 2011 oleh kikisenyo

Dia Ayahku!

            Malam itu, aku terbangun dari tidur kala mendengar tangisan seorang wanita di luar kamarku. Aku mengenali suara tangisan itu. Sepertinya, itu Ibu. Apa benar itu Ibu? Mengapa ia menangis? Batinku penasaran.

Aku bangkit dari ranjang, dan berjalan mendekati pintu. Kuintip sedikit, dan kudapati Ibu menangis sambil memeluk bantal guling oranye miliknya. Ternyata memang Ibu. Tapi, mengapa?

Kubuka lebih lebar pintu kamar itu. Kutatap Ibu nanar. Ibu melihatku, namun kembali menangis. Aku berjalan mendekatinya, dan duduk disampingnya. Kuelus punggungnya, kubelai rambut panjangnya. Ibu masih tetap menangis.

Lama duduk disampingnya, kuberanikan diri untuk bertanya. “Bu, ada apa denganmu?” ucapku sambil terus membelai rambutnya.

Ibu berusaha untuk menghentikan tangisannya. Namun, sesenggukannya masih terus terdengar. Tampak, Ibu tak bisa menahan kesedihannya.

Dilihatnya aku dengan pandangan nanar. Dan aku langsung ditariknya ke dalam pelukannya. Ibu kembali menangis, dan kubalas pelukannya itu. Kepalaku menyentuh dadanya. Kurasakan, nafas Ibu sangat tidak beraturan. Detak jantungnya amat kencang. Kembali, di dalam hati aku bertanya. Ada apa dengan Ibu?

“Ibu tidak tega melihat ayahmu, Ki.” ucap Ibu ditengah tangisannya.

“A…ada apa dengan Ayah?” tanyaku kemudian, masih tak mengerti dengan keadaan ini.

“Lihatlah dia di kamarnya..” balas Ibu sembari melepaskan pelukannya terhadapku dan seakan mendorongku untuk segera pergi ke kamar dimana kini Ayah sedang tertidur lelap.

Aku berdiri dan langsung berjalan ke kamar Ayah. Kutemui Ayah sedang tertidur lelap telanjang dada, dengan keadaan menelentang dan sedikit mendengkur. Dahiku mengernyit. Tak ada yang salah dengan Ayah… Batinku kembali bersuara.

Aku berjalan lebih mendekatinya. Ayah masih hidup, kok. Aku masih perutnya mengembang dan mengempis. Lalu, ada apa dengan Ayah, hingga membuat Ibu menangis seperti itu?

Kini aku sudah berada di atas ranjang. Aku duduk sambil memperhatikan Ayah dengan rambutnya yang sudah memutih itu. Kutelusuri seluruh bagian tubuh Ayah mulai dari kepala hingga kakinya. Dan kini, otakku seakan mengirimkan sebuah sinyal tanda mengerti. Ya, kini aku tahu apa yang terjadi.

Ayah, dengan mulutnya yang menganga saat tidur itu, kini sudah memiliki rambut dengan jumlah uban yang semakin banyak. Ayah memang sudah tua. Umurnya kini sudah lebih dari setengah abad. Namun, ia tetap berusaha untuk memberikan kami sekeluarga nafkah untuk menyambung hidup. Ayah selalu berusaha untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan kami.

Kutelusuri badannya yang tak tertutup pakaian itu. Mulai dari dada hingga pusarnya, kini sudah berganti kulit menjadi gelap. Padahal, dulu kulit Ayah sangat putih. Hmm.. Sejak keadaan ekonomi keluarga semakin rapuh, Ayah sudah berhenti berjualan di pasar. Ia berganti profesi menjadi tukang ojek. Awalnya aku memang malu memiliki ayah dengan pekerjaan rendah seperti itu. Tapi, Ayah melakukan ini karena dia mencintai aku, Ibu, dan adik-adik.

Namun, dengan besarnya biaya sekolah yang aku dan adik-adik tagih ke Ayah, membuatnya kembali berganti profesi. Dan, inilah hari pertama dimana Ayah menjadi kuli untuk sebuah proyek pembangunan rumah kontraktor kaya.

Ayah mendapatkan uang sebesar dua ratus ribu rupiah untuk mengangkat dua truk batu. Dan batu-batu itu harus sudah selesai diangkut semua dalam haru ini. Batu-batu itu lumayan besar, karena akan digunakan sebagai pondasi. Ayah yang tidak biasa bekerja keras, tampak amat kelelahan di tidurnya kali ini.

Kutelisik lebih dalam tubuhnya yang sudah gelap itu. Ternyata di dadanya ada beberapa luka gores. Luka itu masih terlihat baru. Aku bergidik ngeri melihat hal itu. Ayah terlalu memaksakan dirinya… Batinku lagi.

Ayah membalik. Kini posisi tidurnya menyamping memunggungiku. Dan betapa kagetnya aku melihat punggungnya itu dipenuhi bentol-bentol yang amat besar. Biang keringatnya terlihat amat parah. Itu pasti sakit…

Mataku bergerak, dan seketika mengeluarkan cairan. Aku menangis, sama seperti Ibu. Sejurus kemudian, sebuah slide mengenai perilaku burukku pada Ayah berputar di benakku. Seperti saat aku mencuri uang hasil kerja kerasnya dulu, saat aku membentaknya keras, saat aku memaksanya memberikan uang saku, dan saat-saat aku tak mematuhi perintahnya.

Semua slide itu amat mudah membuat pertahananku roboh. Aku menangis disampingnya, sungguh keras. Maafkan aku Yah… batinku ikut menangis. Kugenggam tangannya yang juga dihiasi goresan-goresan kecil itu. Kucium dengan penuh haru. Ayah begitu mencintaiku, Ibu, dan adik-adikku. Bahkan, dia mau berkorban hingga seperti ini demi menghidupi kami.

Tuhan, maafkanlah segala kesalahanku yang durhaka pada Ayah. Aku menyesal karena tidak pernah menghargai jerih payahnya. Setelah begini kejadiannya, aku baru tahu, bahwa dia menyayangiku. Tolong maafkan aku Tuhan…

Masih memegang tangannya, kuarahkan bibirku ke pipinya. Kucium hangat dia, dan satu tetes air mata jatuh di pipinya itu. “Ayah, aku mencintaimu!” ucapku sesenggukan.

“Dia pahlawan kita..” ucap Ibu tiba-tiba dengan mirisnya. Kualihkan pandangan ke arah pintu, dan kutemui Ibu disana dengan pandangan nanar kepadaku.

Ibu berjalan mendekatiku. Dia tersenyum. Matanya sudah amat sembab. “Sudahlah Ki, biarkan Ayah istirahat malam ini. Ayo, balik ke kamarmu. Berusahalah untuk membuat Ayahmu tersenyum, walau hanya di mimpimu, Nak.” Ucap Ibu panjang.

“Baiklah Bu.” Balasku sambil turun dari ranjang dan berjalan ke pintu. “Goodnight, Bu.”

Night, honey…

***

– Berusahalah membuat orang tuamu tersenyum walaupun itu hanya di mimpimu. Itu adalah permulaan yang bagus. –

Tinggalkan komentar